Beberapa minggu lalu saya dan beberapa murid di sekolah mengikuti lomba film dokumenter yang diadakan oleh salah satu UPTD yang ada dibawah Dinas Pendidikan. Lomba film tersebut terdiri dari 2 kategori yanitu umum dan pelajar. Tim dari sekolah kami ikut untuk kategori pelajar. Sejak awal persiapan anak-anak sangat bersemangat sekali untuk membuat film. Film yang akan dibuat rencananya berkisah tentang penambangan timah dan pasca penambangan timah di Belitung khususnya di daerah Sijuk yang lokasinya dekat dengan sekolah kami.
Sampai akhir penggarapan film, semua proses dilakukan secara mandiri oleh murid, dalam hal ini sekolah belum menyediakan kurikulum terkait cinematografi atau proses pembuatan film. Dengan kata lain, standarisasi dari film yang akan dibuat mungkin saja kurang sesuai dengan indikator-indikator “baku” yang telah ditetapkan dari sebuah film dokumenter.
Setelah beberapa minggu proses penjurian, akhirnya diumumkan pemenang dari masing-masing kategori. Untuk kategori umum diambil 4 tim terbaik untuk juara 1, 2, 3 dan harapan 1. Sedangkan kategori pelajar diberikan daftar nama beberapa sekolah, dan Alhamdulillah sekolah kami masuk dalam daftar tersebut. Namun dari daftar tersebut diberikan keterangan bukan sebagai juara, akan tetapi sebagai partisipan. Saya jadi binggung dan bertanya-tanya maksud keterangan partisipan yang tertera di pengumuan hasil lomba film tersebut seperti apa.
Tidak hanya saya secara pribadi yang bertanya-tanya, muridpun juga ikut bertanya-tanya maksud partisipan itu seperti apa. Untuk menjawab rasa penasaran saya dan murid, saya melakukan koordinasi dengan panitia lomba, ternyata untuk kategori pelajar memang tidak ada yang juara, alasannya sederhana yaitu karena film yang dibuat oleh murid-murid tidak “standar” dari indikator-indikator film dokumenter. Saat tahu alasan tersebut, secara pribadi jujur saya sangat sedih dan agak sedikit kecewa.
Sedih karena arah lomba yang diadakan
lebih berorientasi pada hasil bukan menilai secara proses. Padahal proses itu lebih penting
dari pada hasil, paling tidak saya mengikuti paham ini. Saya mengajar fisika di
sekolah, bayangkan jika saya lebih menekankan pada hasil, apa yang terjadi ?
tentunya akan banyak sekali murid yang tidak tuntas dalam pembelajaran fisika, karena saya tahu tidak semua murid senang belajar fisika dan tidak semua bisa mengerjakan soal-soal fisika misalnya.
Sebenarnya secara pribadi saya sempat ingin protes kepada panitia, seharusnya
panitia memberikan saja juara untuk kategori pelajar. Dengan adanya reward tentunya akan memberikan dampak yg positif dari segi
psikologis murid, bayangkan saja betapa bahagianya mereka jika dapat menjadi
salah satu juara dari lomba tersebut. Namun keputusan juri sudah final dan tidak dapat diganggu gugat lagi.
Info terkahir yang saya dapatkan, peserta kategori pelajar akan tetap mendapatkan hadiah berupa uang pembinaan meskipun tidak menjadi juara. Sedikit lega, namun saya masih tetap kurang puas karena sepenuhnya kita juga butuh apresiasi secara moril tidak hanya secara materil, begitukan kira-kira?!
Comments
Post a Comment