Beberapa waktu yang lalu tiba-tiba ada yang menitipkan surat pengumuman lomba yang ditujukan untuk siswa. Dengan perasaan penasaran saya buka surat tersebut, ternyata isinya adalah tentang lomba film dokumenter yang diadakan oleh Museum Tanjungpandan. Tanpa berpikir panjang saya pun langsung mengkonfirmasi surat tersebut kepada kepala sekolah.
Kepala sekolah menunjuk pembina eskul film untuk membimbing anak-anak, namun permintaan kepala sekolah tersebut kurang mendapat respon dari pembina eskul. Mungkin karena kesibukan beliau, apalagi saat pandemi covid-19 ini kesibukan guru-guru cukup tinggi karena harus mempersiapkan bahan ajar.
Sebenarnya minat siswa cukup tinggi untuk lomba film ini, SMA kami pernah beberapa tahun lalu menjadi juara FLS2N tingkat Provinsi untuk kategori film pendek. Kreatifitas siswa memang tidak boleh dipandang sebelah mata. Namun sayang karena pembimbing eskul tidak bisa membimbing mereka, semangat mereka pun jadi surut.
Beberapa kali siswa meminta saya untuk membimbing mereka atau paling tidak menemani mereka dalam proses pembuatan film. Akan tetapi karena saya merasa tidak punya kapasitas untuk membimbing dan bukan Pembina eskul film, jadi saya awalnya agak menolak. Hingga suatu ketika mereka meminta lagi, atas izin Pembina eskul film saya akhirnya memberanikan diri untuk membimbing mereka.
Tema atau ide cerita yang akan diangkat adalah tentang penambang timah di Pulau Belitung. Film yang berdurasi sekitar 10 menit itu nantinya akan membahas tentang kehidupan salah satu keluarga yang berlatar belakang tinggal di Desa Sijuk. Terhimpit masalah ekonomi karena lahan tambang semakin sedikit, membuat Pak Rinto berpikir membutar otak dan melakukan adaptasi terhadap pekerjaan yang ia tekuni selama ini yaitu sebagai penambang timah.
Singkat cerita Pak Rinto bersama dengan Kak May, memulai usaha budidaya ikan, hingga akhirnya menjadi pembudidaya ikan yang sukses. Sebelum melakukan budidaya Pak Rinto juga mengajak Bang Kulup untuk ikut menjadi pembudidaya ikan juga, namun Bang Kulup menolak dengan alasan menambang timah lebih menguntungkan dari pada menambak ikan. Beberapa tahun kemudian, barulah Bang Kulup sadar bahwa ternyata apa yang disampaikan Pak Rinto adalah benar adanya. Begitu sekilas cerita film dokumenter yang akan dibuat siswa.
Selama kegiatan pembuatan film dokumenter semua ide digali dari siswa, teknik pengambilan gambar, penentuan lokasi syuting, pemain film serta editing film sepenuhnya dilakukan oleh siswa. Disini peran saya hanya sebagai pendamping dan sebagai fasilitator jika ada hal-hal teknis yang perlu didiskusikan. Siswa tampak asyik dalam mengerjakan, seperti tidak ada beban. Tak jarang pengambilan gambar, editing dan mengulang adegan film berkali-kali yang memakan waktu cukup lama. Sekali lagi siswa malah enjoy menikmati setiap prosesnya, kok bisa yaa?.
Bagaimana dengan belajar
disekolah, kadang siswa merasa terbebani dengan tugas yang diberikan guru. Tugasnya
mudah tapi kok gak enjoy. Disini
masalahnya. Menurut Najelaa Sihab siswa kita merasa terbebani, karena kemerdekaan
belajar belum mereka miliki. Lantas apa yang perlu kita lakukan (terutama
kita sebagai pendidik maupun orang tua siswa) adapun langkah yang dilakukan yaitu dengan cara memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menentukan sendiri model pembelajaran yang sesuai
kebutuhan mereka. Dengan demikian siswa akan merasa lebih enjoy dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran, seperti halnya pembuatan film dokumenter tadi, karena sudah diniatkan untuk membuat makanya pembeuatan film terasa lebih mudah. Hal tersebutlah yang juga ingin diharapkan dari proses pembelajaran di dalam kelas. Salam Merdeka Belajar.
Comments
Post a Comment