4 Alasan Mengapa Kita Harus Menuntut Negosiasi Ulang Atas Kontrak Karya Pertambangan yang Merugikan Bangsa Indonesia
![]() |
Oleh : Virandy Putra
Seperti yang sudah kita ketahui
bersama, seluruh kontrak karya pertambanagn yang kita buat (baca : negara kita)
dengan berbagai korporasi asing, pada dasarnya lebih menguntungkan pihak asing
dan mergikan bangsa sendiri seperti misalnya kontrak karya dengan Freeport, blok
Migas Cepu dan kontrak karya yang lain. Nampaknya negara kita sudah di “Brain-washed” bahwa kontrak karya yang
telah dibuat, kita anggap sacrosanct alias
suci, tidak mungkin dinegosiasi ulang, dengan alasan pacta sunt survanda, perjanjian yang sudah disetujui tidak boleh
diotak-atik. Perjanjian itu harus dilaksanakan.
Kita memegang penuh doktrin pacta sunt survanda tetapi melupakan
klausul hukum yang tidak kalah penting, yaitu kalusul rebus sic stantibus (‘thing
thus standing’) yang berarti bahwa sebuah perjanjian menjadi tidak berlaku
lagi (inapplicable) bilamana ada
perubahan fundamental dengan konteks situasinya. Bila jelas sebuah perjanjian
ternyata merugikan salah satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat mengusulkan
negosiasi ulang terhadap perjanjian itu. Namun bila keberanian itu tidak pernah
kita miliki, maka sampai kapanpun perjanjian yang merugikan tersebut—dalam hal
ini sluruh kontrak karya pertambangan—akan terus berlaku dalam proses
penjarahan sumberdaya alam negara kita dan akan terus berlangsung sampai
berakhirnya kontrak tersebut. Lebih parah
lagi setelah semua kontrak berakhir, kontrak tersebut akan diperbaharui lagi
sehingga memperpanjang exploitasi sumberdaya alam yang ada di negara kita yang menguntungkan pihak asing dan juga segelintir orang dari kelompok-kelompok
tertentu saja.
Menurut Amien Rais (2008 : 48-51)
paling tidak terdapat empat alasan mendasar bahwa sudah tiba saatnya kita
segera menuntut negosiasi ulang atas seluruh kontrak karya pertambangan yang
merugikan bangsa Indonesia selama puluhan tahun terakhir. Keempat alasan
tersebut yaitu :
1. Doktrin,
Pacta sunt survanda harus dipahami
sekaligus dengan klausula rebus sic
stantibus, sebagaimana diuraikan secara singkat diatas. Bila sebuah kontrak
atau perjanjian ternyata dalam pelaksanaannya merugikan salah satu pihak, maka
pihak yang dirugikan berhak merundingkan kembali kontrak atau perjanjian
tersebut. Negara-negara berkembang seperti Venuzuela sudah cukup cerdas melakukannya,
Kapan negara kita menjadi bangsa yang cerdas?
2. Pasal
1 ayat 2 The International Right Covenant
on Civil an Political Right mengatakan:
“Semua bangsa, untuk mencapai tujuannya memiliki kebebasan
untuk memanfaatkan sumber kekayaan dan sumber daya alamnya. Dalam pasal ini
juga dikatakan bahwa kerjasama ekonomi internasional harus didasarkan pada
prinsip saling menguntungkan dan pada hukum internasional. Tidak dibenarkan
suatu bangsa kehilangan atau dihilangkan hak hidupnya”.
Jadi tidak ada alasan
sampai kita takut mengelola kekayaan alam kita sendiri, apalagi untuk
kesejahteraan bangsa kita sendiri pula.
3. Tafsir
yang agak luas dari Universal Declaration
of Human Right (1948) memberikan kita keyakinan bahwa melindungi dan
memanfaatkan kekayaan alam yang kita miliki untuk bangsa Indonesia sendiri
adalah salah satu bentuk hak asasi manusia. Pasal 3 dan 4 Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap orang untuk menikmati hidup, kebebasan
dan keamanan. Tidak diperkenankan ada seseorang yang dikekang dalam perbudakan
dan penghambaan.
4. Kita
sudah merdeka hampir 7 dasawarsa. Sudah sangat terlambat kalau masih saja
mengabaikan pesan dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3 : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.
Bung Karno pernah mengajarkan, for a fighting nation, there is no journey’s end. Bagi bangsa
pejuang tidak ada stasiun akhir. Ajaran dalam kitab suci bahkan lebih jelas lagi : “Apabila
engkau sudah usai menuanaikan sebuah tugas, hendaknya engkau bangkit kembali (menunaikan
tugas yang lainnya). Dan Hanya kepada Tuhanmulah, hendaknya kamu beharap” (Al Qur’an:
94 : 7-8). Dengan demikian maka tak ada kata lain selain memberanikan diri
menegosiasi ulang kontrak karya pertambangan yang sudah dibuat dengan korporasi
asing tentunya demi kemajuan dan kemakmuran bangsa kita.
Sumber : Di kutip dari Buku "Selamatkan Indonesia : Agenda Mendesak Bangsa" karya Amin Rais (2008).
*Ditulis di Yoyakarta dan Disempurnakan di Belitung (Air Seruk), 27 Desember 2015
Comments
Post a Comment